POLITIK DALAM AGAMA BUDDHA
KATA PENGANTAR
Namo Sangyang Adi Buddhaya,
Namo Buddhaya
Dengan Mengucapkan Puji Syukur kepada Sangyang Adi
Buddha Tuhan Yang Maha Esa, Sang Tri Ratna, Buddha, Dhamma, Sangha serta Bodhisatva Mahasatva. Penulis dapat
menyelesaikan Makalah Agama Buddha Dan Ilmu Pengetahuan yang merupakan salah
satu syarat tugas Agama Buddha Dan Ilmu Pengetahuan, dalam waktu yang relatif
singkat.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tejo Ismoyo, M.Pd., M.Pd.B selaku dosen pembimbing mata kuliah Agama Buddha Dan Ilmu Pengetahuan Serta kepada rekan-rekan mahasiswa lainnya yang telah membantu dalam
proses penyusunan dan membantu dalam pencarian sumber-sumber pendukung makalah
ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para mahasiswa dan
pembaca di dalam mengkaji dan memahami tentang Politik Dan Demokrasi Menurut Pandangan Agama
Buddha.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan makalah Selanjutnya.
Sadhu, Sadhu, Sadhu
Bandar
Lampung, 25 februari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................
KATA PENGANTAR...........................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1.1 Latar Belakang......................................................................................
1.2 Rumusan masalah.................................................................................
1.3 Tujuan ..................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
2.1 Pengertian Politik
Secara Umum..........................................................
2.2 Pengertian Politik
Dalam Pandangan Agama Buddha.........................
2.3 Pengertian
Demokrasi Secara Umum...................................................
2.4 Pengertian
Demokrasi Dalam Pandangan Agama Buddha..................
BAB III PENUTUP..............................................................................................
3.1 Kesimpulan...........................................................................................
3.2 Saran.....................................................................................................
3.3 Daftar Pustaka......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Politik adalah “Pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan,
siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara
lain” (Anwar, 2002:360).
Sejarah Politik
Agama Buddha Keterlibatan Sang Buddha dalam pengendalian politik terlihat pada saat suku Koliya dan Sakya akan
berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk mereka
agar tidak melakukannya. Saat raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan
pesan dengan cara melakukan percakapan dengan Ananda di depan menteri raja
Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang
Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan Rencananya
Isitilah
“demokrasi” berasal dari Yunani Kuno (Athena) pada abad ke-5 SM. Negara tersebut merupakan sebagai contoh awal dari
sebuah sistim yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari
istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi politik telah
berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistim demokrasi di
banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari
dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat, “Demokrasi sebagai asas yang fudamental ...
kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat
untuk menyengarakan negara sebagai organisasi tertinggi” (Mahfud dalam Hidayatullah, 2000:161).
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu
politik Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitan pembagian kekuasaan dalam suatu negara,
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Para ahli demokrasi yang membagi kekuasaan politik negara (eksekutif,
yudikatif dan legislatif). Kehidupan masyarakat
akan berkembang bila ada kebebasan bagi seluruh anggota masyarakat untuk
menempatkan dirinya sederajat dan
mengambil pera masing-masing secara demokratis. Buddha memberi sejumlah
petunjuk untuk mengembangkan masyarakat yang merdeka dan sejahtera, yang
menempatkan kesucian dan nilai-nilai luhur diatas kekuasaan.agama yang
mengajarkan kebebasan, persamaan derajad, dan persaudaraan dalam kehidupan
bermasyarakat( Mukti,2013 : 495)
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka rumusan makalah ini yaitu:
Bagaimana yang dimaksud
Politik secara umum?
Bagaimana yang dimaksud
Politik dalam pandangan Agama Buddha ?
Bagaimana yang dimaksud
Demokrasi secara umum ?
Bagaimana yang dimaksud
Demokrasi dalam pandangan Agama Buddha?
C.
TUJUAN
Tujuan dari Pembuatan
Makalah tersebut adalah :
Menjelaskan Politik
secara umum dan dalam Pandangan Agama Buddha.
Menjelaskan Demokrasi
secara umum dan dalam Pandangan Agama Buddha.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN POLITIK SECARA UMUM
Politik adalah “Pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan,
siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara
lain” (Anwar, 2002:360).
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota.
Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara,politeia yang berarti semua yang berhubungan
dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang
memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia
yang ia sebutzoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan
bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang
atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat
politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya
ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia
berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang
lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha
memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang
tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu
terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik
sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan
suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai
kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau
alokasi (allocation).
Pada umumnya dapat
dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan
tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan
keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari
sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan
penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public
policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution)
atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang
ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu
dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang
akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik
yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat
meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion).
Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement
of intent) belaka.
Politik merupakan upaya
atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang
beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara
atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa
aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik
dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah
politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public
goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals).
Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan
kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).
2.
POLITIK DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Politik dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami seperti
sebuah kereta yang tergantung kepada
kedua rodanya, yakni roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka).
Bila roda kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, maka akan
menjadi kekuasaan yang korup, dan dalam kondisi ini Sangha atau komunitas
spiritual, harus mengimbanginya dengan roda kebenaran.
Agama Buddha menjaga jarak terhadap politik ”Buddha tidak
berusaha mempengaruhi kekuasaan politik untuk menyiarkan ajaranya, tidak juga
mengijinkan ajaranya disalah gunakan untuk menguasai kekuasaan politik” (Wijaya-Mukti, 2003:491).
Sejarah Politik Agama Buddha Keterlibatan Sang Buddha dalam pengendalian politik terlihat pada saat suku Koliya dan Sakya akan berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk mereka
agar tidak melakukannya. Saat raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan
dengan cara melakukan percakapan dengan Ananda di depan menteri raja
Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang
Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan Rencananya.
Dalam dua kesempatan, Sang
Buddha menghentikan majunya bala tentara raja Vadidabu yang hendak
menghancurkan suku Sakya dengan bermeditasi di bawah pohon kering.Sang Buddha
membabarkan tujuh cara tanpa agresi dalam memerintah suatu negara republik dan
sepuluh kebajikan para raja dalam memerintah suatu negara kerajaan.Keterangan
singkat di atas menunjukkan dua poin penting:
a.
Para biarawan dapat mendidik para
raja dan menteri ( para politisi ) dengan mengajarkan Dhamma kepada mereka,
menjadi penengah dalam berbagai permasalahan politik dan melindungi hak-hak
para warganegara pada saat diperlukan.
b.
Para biarawan tidak terlibat
sebagai pribadi dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Mereka
juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik. Dengan kata lain, para
biarawan boleh terlibat dalam politik tetapi harus dibatasi. Mereka tidak boleh
menjadi politisi.
Beberapa orang berusaha menggambarkan
Sang Buddha sebagai orang yang meninggalkan politik kerajaan untuk menjadi
politisi demokratik massa. Hal seperti ini tidaklah ditemukan. Mereka yang
mengenal Buddhisme akan mengetahui bahwa Sang Buddha menghabiskan seluruh
hidupNya dalam peningkatan batin dan pengajaran. Beliau mengajarkan tentang
penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan. Inti ajaranNya adalah di pencapaian
kesucian dan bukan salah satu bentuk ideologi politik apapun.
Sang Buddha menganggap diriNya
sendiri sebagai seorang “Tathagatha”, dan bukan seorang raja atau politisi.
Saat kita membaca paritta tentang kebajikan seorang Buddha, kita menyebut
sebagai Bhagava (Yang Patut Dimuliakan), Arahat (Yang Maha Suci),
Sammasambuddha (Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna), vijja-carana-sampano
(Sempurna pengetahuan dan tindak tandukNya), sugato (Sempurna menempuh Sang
Jalan ke Nibbana), lokavidu (Pengenal Segenap Alam), anutara purisa dhamma
sarathi (Manusia yang tiada taranya), satta deva manusanam (Guru para dewa dan
manusia), buddho (Yang Sadar).Kita tidak menyebut Nya sebagai seorang raja,
politisi atau seorang yang hendak memperbaiki keadaan sosial walaupun telah
dikenal bahwa Beliau adalah salah satu pembaharu sosial terbesar dalam sejarah
manusia.
Beberapa orang memperdebatkan
bahwa karena tidak adanya peraturan dalam Vinaya yang melarang para biarawan
menjadi politisi, maka mereka boleh saja menjadi politisi. Perdebatan ini harus
ditentang. Kita harus mengerti bahwa peraturan atau Vinaya dibuat berdasarkan
keadaan saat itu. Karena pada saat itu tidak ada biarawan berjubah yang mau
menjadi raja dan menteri, tentu saja peraturan semacam itu tidak dibuat. Pada
saat itu, semua raja dan menteri yang hendak menjadi biarawan dengan otomatis
melepaskan jabatan-jabatan duniawi mereka. Bagaimanapun juga, tujuan seorang
biarawan adalah pelepasan; oleh karena itu berpikiran tentang pelepasan
keduniawian di saat mereka masih melekat pada kekuasaan politik adalah sesuatu
yang tidak sesuai dengan Ajaran Sang Buddha.
Dhammapada ayat 75 menyebutkan:
“Satu jalan menuju keuntungan duniawi; satu jalan yang lain menuju Nibbana –
pembebasan sejati.” Untuk melepaskan keduniawian, dan pada saat yang sama
hendak mendapatkan kekuasaan politik serta berusaha memenangkan pemilihan umum
adalah keinginan berjalan di dua jalan yang bertentangan. Yang Mulia
Sangarasita dengan tepat berkata, “Bagi para biarawan yang hendak menguasai dan
mempergunakan kekuasaan politik, satu-satunya jalan yang terhormat bagi mereka
adalah melepaskan jubah.”
Dalam Buddhisme, umat Buddha
perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik,
termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik. Hal seperti ini
bukanlah merupakan persoalan yang kontroversi. Kontroversi baru muncul pada
saat para biarawan hendak berpartisipasi dalam politik. Kontroversi ini bukan
karena tidak adanya nasihat yang jelas tercantum dalam Kitab Suci tentang hal
ini, melainkan karena gagasan awal dan penafsiran terhadap makna politik serta
partisipasi seseorang di dalamnya. Misalnya, wawancara saya yang diterbitkan
dalam satu majalah Buddhis dikutip oleh Kwong Min Poh sebagai “tidak ada
kerugian bagi para biarawan untuk berpartisipasi dalam politik”’ dan dikutip
oleh penulis majalah lain sebagai “tidak ada keberatan bagi para biarawan berpartisipasi
dalam politik”.
Pandangan Yang Mulia Dr. K.
Sri Dhammanada bahwa tidak ada kerugian bagi para biarawan berpartisipasi dalam
politik telah disalahartikan pula menjadi para biarawan dapat ikut serta dalam
pemilihan umum, bergabung dengan partai-partai, dan mencari kekuasaan. Ketika
saya melakukan klarifikasi dengannya, beliau berkata, “Sebelum pemilihan umum
1990 di Malaysia, saya pergi ke Penang untuk membujuk seorang bhikkhu
menghentikan niatnya ikut serta dalam pemilihan umum. Pada tahun 1995, saya
memberitahu ribuan bhikkhu di depan Presiden dan Perdana Menteri Sri Lanka
bahwa demi kepentingan Buddhisme dan Negara, “Anda tidak seharusnya bergabung
dalam partai-partai politik dan ikut serta dalam pemilihan umum.” Jelas bahwa
saat Yang Mulia Dr. K. Sri Dhammananda berbicara tentang “tidak ada kerugian
bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik”, ia berbicara tentang
pendidikan Dhamma dan menjadi penengah dalam permasalahan politik namun bukan
ikut dalam perebutan kekuasaan politik.
Dalam Buddhisme belakangan
ini, ada beberapa biarawan yang terlibat dalam politik, tetapi kebanyakan
terbatas pada aspek pendidikan dan bagaimana mereka membantu para pemimpin
politik menyelesaikan berbagai perselisihan. Bagaimanapun juga, para biarawan
adalah pekerja full-time yang sepenuhnya terlibat dalam peningkatan kualitas
diri serta pengajaran Dhamma. Mereka hampir tidak ada waktu dan tenaga untuk
urusan – urusan keduniawian. Dalam konteks terminologi moderen, politik adalah
suatu profesi, demikian juga kebiarawanan. Sesungguhnya adalah hal yang sulit
dipikirkan bila seseorang secara bersamaan terlibat dalam dua profesi yang
berbeda tujuannya.
Zaman sekarang sesekali kita
melihat para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam
pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan
berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci. Menurut analisa saya,
tingkah laku orang-orang ini disebabkan adanya alasan-alasan berikut:
1.
Hal itu disebabkan oleh sejarah
politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet.
2.
Mereka yang tidak mempunyai
pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya, apabila
mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat sebagai menteri,
wakil rakyat, anggota badan legislatif, dll.
3.
Mereka yang dengan tulus hendak
mengabdi pada kepentingan Buddhisme tetapi mereka tidak mempunyai pengertian
yang mendalam tentang Ajaran Sang Buddha dan pengertian tentang politik. Maka
hal ini membingungkan peran mereka sendiri.
4.
Mereka yang mengenakan jubah
kuning tetapi mempunyai karakter yang egois. Mereka menginginkan perhatian dari
orang lain.
Apapun alasannya, seharusnya
kita tidak menyalahgunakan nama Buddhisme ataupun memutarbalikkan Ajaran Sang
Buddha untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam politik.
Beberapa orang berpendapat
bahwa adalah hak seorang warganegara untuk ikut serta dalam pemilihan umum.
Para biarawan adalah warganegara pula, mereka seharusnya diperbolehkan ikut
serta. Perdebatan ini berdasarkan pada hak-hak kewarganegaraan, bukan pada
Ajaran Sang Buddha. Walaupun demikian, argumentasi ini bukan tanpa cela. Para
hakim, pejabat pemerintah senior serta para penguasa juga warganegara, tetapi
mereka tidak diperbolehkan ikut serta dalam pemilihan umum. Oleh karena itu,
dari sudut hak-hak kewarganegaraanpun tidak tepat bagi para biarawan untuk ikut
serta dalam pemilihan umum.
Para biarawan yang ingin ikut
serta dalam politik seharusnya bertanya kepada diri sendiri tujuan dari
keikutsertaan mereka. Memang benar bahwa beberapa biarawan mempunyai tujuan
yang tulus untuk menegakkan hak-hak umat Buddha dan mengabdi untuk kepentingan
Buddhisme saat mereka bergabung dengan partai-partai politik guna ikut serta
dalam pemilihan umum. Tetapi mereka gagal melihat bahwa dengan demikian mereka
lebih banyak melakukan kerusakan daripada kebaikan pada Buddhisme. Hal ini
karena sifat alami dari politik adalah pemecahan; partisipasi dari satu grup
biarawan dalam partai politik akan menyebabkan grup biarawan lainnya bergabung
dengan partai politik yang berlawanan; pada akhirnya kondisi ini akan
menyebabkan suatu perpecahan dalam Sangha. Saat para biarawan dalam partai
politik yang berbeda, mereka membela kepentingan mereka sendiri dan mengutuk
partai berlawanan, semua pihak mengutip referensi-referensi dan dukungan dari
doktrin-doktrin Ajaran Sang Buddha, kita dapat membayangkan kerusakan yang
dilakukan kepada Buddhisme. Hal ini telah terjadi di agama yang lain.
Mungkin kita dapat belajar
sesuatu dari kecerdikan Gereja Katolik di Philipina. Gereja di sana tidak
terlibat dalam partai politik apapun. Tetapi mereka aktif menyuarakan
penderitaan rakyat dan mengangkat berbagai persoalan yang terkait. Dengan
melakukan tindakan seperti itu, Gereja menjadi suatu grup yang sangat
berpengaruh. Partai-partai politik pemerintah dan oposisi semuanya harus
memperhatikan tekanan yang digunakan oleh Gereja. Umat-umat awam mungkin dapat
terpecah dalam penafsiran mereka atas pesan Gereja, selanjutnya bergabung dan
mendukung partai-partai yang berbeda, tetapi mereka semua akan setuju dengan
Gereja. Sementara itu Gereja tidak terpecah belah.
3.
DEMOKRASI SECARA UMUM
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno
(Athena) pada abad ke-5 SM. Negara tersebut merupakan sebagai contoh awal dari
sebuah sistim yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari
istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi politik telah
berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistim demokrasi di
banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos
yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan,
sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih
dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
“Demokrasi sebagai asas yang fudamental ... kenegaraan yang secara esensial
telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyengarakan negara
sebagai organisasi tertinggi” (Mahfud dalam Hidayatullah, 2000:161).
Konsep demokrasi menjadi sebuah
kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitan pembagian kekuasaan dalam suatu negara,
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi
yang merupakan suatu sistim politik yang harus diorganisasikan agar dapat
memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat, mempunyai asal-usul
tersendiri, asal-usul demokrasi sebagai suatu sistim politik dapat ditelusuri
sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi. Setelah perang dunia II demokrasi
memperoleh angin segar dan dianggap sebagai sistim politik terbaik oleh hampir
semua pemimpin negara. Sejarah demokrasi Yunani kuno adalah demokrasi langsung
yang dipraktekan dalam suatu negara kota yang lain. Tokoh-tokoh demokrasi
Yunani kuno itu antara lain adalah tokoh-tokoh pembuat hukum (638 - 588 SM). Chiestinus
Bapak demokrasi Athena Pericles, Jendral Negarawan (409-429 SM), dan
Demosthenas negarwan Arator (385-322 SM). Masing-masing dengan kemampuan
membela demokrasi sebagai suatu sistim politik yang terbaik disamping itu ada
beberapa prinsip operasional yang cukup menarik dalam sistim demokrasi Athena
diantaranya:
Para warga
negara sendiri yang langsung membuat keputusan-keputusan politik dan
mengawasinya.Ekualitas politik dan hukum bagi semua warga negara dalam hal
memberikan suara pada berbagai isu, dalam dialog terbuka dan dalam hak untuk
menduduki jabatan pemerintahan.Kebebasan politik dan kewarga negaraan dijamin
sepenuhnya.
Jadi
Athenalah yang mempraktekan bentuk pemerintahan yang diselenggarakan oleh, dari
dan untuk rakyat, yang artinya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi
(kedaulatan) (Rostandi, 1992:105). Pengertian harafiah demokrasi
berarti dari sumber bahasa Yunani, yaitu Demos dan Kratia, demos berarti
rakyat dan kratia berarti pemerintahan jadi demokratia (demokrasi) berarti
“Pemerintahan Rakyat”.
Arti
demokrasi secara umum: istilah demokrasi berarti berasal dari dua kata, yaitu
demos artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan Jadi demokrasi artinya
Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat atau oleh mereka yang diperintah
(Hariyanto, 2002:II).
Demokrasi
merupakan suatu pola pemerintahan yang mana kekuasaan sepenuhnya berada
ditangan rakyat jadi maju dan tidaknya masyarakat tersebut tergantung pada
masyarakat itu sendiri. Menurut International Comission Of Justs dalam
konferensinya di Bangkok / Muangthai, demokrasi adalah suatu pemerintahan
dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga
melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan tanggung jawab kepada mereka
melalui suatu proses pemilihan yang bebas, kemudian pada perkembangannya
demokasi diartinkan sebagai suatu sikap tertentu dari para warga. Umpamanya
sikap toleran terhadap pendapat-pendapat lain, atau sikap yang ditunjukan untuk
memperoleh suatu consensus tertentu (Hariyanto, 2002:12).
Setelah
melihat beberapa pengertian demokrasi diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi
merupakan suatu sistim pemerintahan yang berasal darti rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat itu sendiri.
4.
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Kehidupan
masyarakat akan berkembang bila ada kebebasan bagi seluruh anggota masyarakat
untuk menempatkan dirinya sederajat dan mengambil peran masing-masing secara
demokratis. Buddha memberi sejumlah petunjuk untuk mengembangkan masyarakat
yang merdeka dan sejahtera, yang menempatkan kesucian dan nilai-nilai luhur
diatas kekuasaan. Agama yang mengajarkan kebebasan, persamaan derajad, dan
persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat (Mukti, 2003 : 495).
Pengertian
Demokrasi Menurut Pandangan Agama Buddha
Menurut Aganna Sutta,
Buddha menunjukan bahwa fenomena Demokrasi dam kedaulatan ditangan rakyat. Pada
mulanya manusia dilahirkan tanpa perbedakan kedudukan, semua masyarakat dapat
memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi
kehidupan yang damai mulai terganggu
ketika manusia yang serakah mencuri, yang licik menipu, yang kuat
menindas yang lemah.
Kemudian
masyarakat memilih salah seorang diantaranya untuk mengadili orang-orang yang
salah dan membayar jasanya. Penguasa itu dipilih banyak orang, diangkat melalui
persetujuan rakyat.Demokrasi merupakan Buddha, demikian ditulis oleh Nokae
Chomin ( Takusuke ), konstitusionalisme patut dihormati, demokrasi patut
dicintai, konstitusionalisme sekedar penginapan yang pada akhirnya harus
ditinggalkan, sedangkan demokrasi merupakan rumah terakhir karena rakyat yang
berkuasa lewat demokrasi (Mukti, 2003: 497)
Jadi
menurut agama Buddha demokrasi merupakan suatu tindakan yang didasari atas
persamaan hak dan kewajiban, dari seluruh rakyat. Buddha menguraikan empat hal
yang menjadai dasar demokrasi dalam agama Buddha, diantaranya :
1.
Kemurahan hati.
2.
Pembicaraan yang ramah.
3.
Tindakan yang baik.
4.
Melayani semua siswa tanpa membedakannya.
Jadi
demokrasi tersebut merupakan wujud dari kekuasaan yang berada ditangan rakyat.
Rakyat mempunyai hak untuk turut serta
dalam pemerintahan dan menentukan nasib negaranya, mereka memilih wakilnya dan
mempercayakan orang yang dipilihnya untuk menyelenggarakan pemerintahan (Mukti,
2003 : 495).
Didalam
khotbahnya sang Buddha mengajarkan atau menjelaskan syarat-syarat kesejahteraan
suatu bangsa, yang merupakan ciri dnegara demokrasi yaitu :
a)
Sering berkumpul mengadakan musyawarah.
b)
Dalam musyawarah selalu menganjurkan
perdamaian.
c)
Menetapkan peraturan baru dan menentukan
pelaksanaan baru dan peraturan-peraturan lam yang baik.
d)
Menunjukan rasa hormat dan bhakti kepada
orang tua.
e)
Melarang keras penculikan terhadap
gadis-gadis dari keluarga baik-baik.
f)
Menghargai dan menghormati tempat suci
serta sering melaksanakan puja bhakti.
g)
Menghargai dan melindungi orang-orang
suci dengan seyogyanya (D.II.16).
Dasar
demokrasi dalam agama Buddha adalah dengan prinsif tindakan tanpa pemaksaan
kehendak, pemerintahan demokrasi selalu memperhatikan kepentingan rakyat.
Rakyat memiliki kedudukan yang sama untuk memenuhi kebutuhannya tidak ada yang
disebut kaum tinggi dan kaum rendahan, semua sama yang menentukan tinggi dan
rendahnya seseorang adalah nilai moral, agama dan perilaku mereka.
Sifat Demokrasi Dalam Agama Buddha
Demokrasi
dipandang memilki sifat atau karakter tersendiri yang membuat banyak sekali
suatu negara yang masyarakatnya memilih sistim demokrasi dalam menjalankan
peerintahan, sifat dari demokrasi adalah kebebasan dan ketaatan terhadap hukum.
Kebebasan dan ketaatan hukum kepada hukum tidaklah saling bertentangan,
kebebasan menghendaki kearifan, kebajikan dan ketaatan hukum, agar dapat
mewujudkan ketertiban setiap orang akan menerima hasil dari perbuatannya, tidak
seorangpun dapat menyembunyikan diri atau terhindar dari segala akibat
perbuatan jahatnya (Dhp.127).
Cepat
atau lambat dalam kehidupan sekarang ini atau dalam kehidupan yang akan datang,
dalam kehidupan yang sekarang orang yang berbuat salah dapat dijatuhi hukuman
oleh negara atau masyarakat (Mukti, 2003: 499). Sifat lain demokrasi menurut
agama Buddha adalah menganggap sama antara penguasa dan rakyat jelata, karena asalnya
sama yaitu manusia biasa. Pandangan mengenai persamaan martabat hak dan
kewajiban atau menyangkut perlakuan yang sama bagi semua manusia menunjukan
sifat agama Buddha yang demokratis.
Buddha
mengakui perlunya kekuasaan pemerintahan yang dijalankan secara benar,
kekuasaan tidaklah dimaksudkan dengan bagaimana memaksakan kehendak manusia.
Dikemukakan dalam Aganna Sutta kekuasaan itu menyangkut kesanggupan
untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh masyarakat. Tidak ada penguasa
tanpa kehendak rakyat karena itu seorang penguasa adalah abdi masyarakat. Menurut Buddha seorang pemimpin adalah
memenuhi sepuluh kewajiban (Dasa Raja -
Dhamma ) yaitu
1.
Kedermawanan atau memiliki sifat
kedermawanan (berdana).
2.
Memiliki moral yang baik.
3.
Kesediaan berkorban.
4.
Memiliki integritas atau tulus, jujur
dapat dipercaya.
5.
Memiliki kebaikan hati termasuk bersikap
menyenangkan.
6.
Menjalankan hidup sederhana.
7.
Tanpa amarah.
8.
Tanpa kekerasan.
9.
Memiliki kesabaran.
10.
Penguasa tidak boleh bertentangan dengan
kebenaran atau kehendak rakyat.
Kepemimpinan
yang ditunjukan oleh Buddha adalah bagaimana seseorang meningkatkan kualitas
dirinya sehingga mampu untuk tidak menyandarkan nasip kepada orang lain. Karena
itu kepemimpinan bukan sekedar membuat orang lain terpengaruh dan tunduk apalagi
tergantung kepada diri si pemimpin. Buddha tidak mewariskan kekuasaan dengan
menunjuk seorangpun untuk menjadi pemimpin seorang bhikkhu atau umat. Ia tidak
ingin orang-orang menggantungkan diri kepada sosok figure pemimpin, yang
diamanatkan adalah agar pengikutnya menyandarkan diri kepada ajaran dan hukum
kebenaran yang dinamakan Dhamma dengan itu setiap orang menjadi pemimpin
dan pelindung bagi dirinya sendiri
(Mukti, 2003: 503-504).Selain hal diatas terdapat sifat-sifat yang harus
dikembangkan oleh umat Buddha yang mendukung terbentuknya sikap hidup yang
demokratis yaitu :
1.
Metta berarti
cinta kasih yang universal yang merupakan sifat batin yang selalu mengharap
kesejateraan dan kebahagiaan semua mahkluk tanpa membedakan satu dengan yang
lain.
2.
Karuna berarti
belas kasihan sikap batin yang timbul apabila melihat penderitaan mahkluk lain
dan berhasrat untuk meringankan atau menghilangkan penderitaan itu.
3.
Mudita berarti
simpati yaitu sikap batin yang merasa gembira dan bahagia melihat orang lain
bahagia.
4.
Upekkha
berarti keseimbangan batin yakni sikap batin yang selalu seimbang dalam segala
keadaan karena menyadari bahwa setiap mahkluk akan memetik buah perbuatannya
(Haryanto, 2002 : 64).

Kehidupan
demokrasi selalu menghargai keputusan-keputusan bersama, dalam musyawarah sifat
keakuan harus dihindari, orang yang hanya mengakui pendapatnya sendiri, maka ia
bukan seorang demokratis. Sikap demokratis tidak memeluk erat-erat semua
pandangan yang telah muncul diantara orang-orang. Ia tidak berdiri kaku di atas
pandangannya sendiri dan bergantung kepada kriterianya sendiri. Apapun yang
mungkin difahaminya didalam atau diluar dia
harus menghindari kesombongan penilaian-penilainannya. Dia tidak berfikir
bahwa dirinya lebih baik atau lebih buruk atau sejajar dengan dirinya.
Ciri
demokratis dalam agama Buddha menyangkut persamaan hak dan kebebasan bagi
setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri. Buddha mengajarkan kebebasan,
beliau mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas
kebenaran. Ajarannya adalah ajaran yang terbuka dan menghargai keterbukaan
mengambil keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, memberi
kesempatan pada perbedaaan pendapat dan kritik, sangat ditekankan oleh sang
Buddha dalam konteks kehidupan bernegara, berbangsa dan bernegara pandangan ini
tempat yang mendasari dengan apa yang disebut sebagai pasamuan, permusyawaran
dan pemufakatan.
pendapat
itu biasa, demikian pula berbeda keinginan maka Buddha menganjurkan para siswa
untuk sering melakukan permusyawarahan secara tertib dan teratur. Setiap
permasalahan diselesaikan dengan rukun dan dengan penuh tanggung jawab. Adanya
satu asas dan satu tujuan telah memungkinkan pencapaian mufakat yang bulat.
Namun bilamana kesamaan pendapat tidak tercapai, mufakat dihasilkan menurut
keputusan suara terbanyak. Ciri disini adalah musyawarah untuk mufakat sangat
dijunjung tinggi, setiap musyawarah berjalan rukun lalu berakhir dengan
kerukunan yang semakin mantap dan tidak berjalan dengan pertikaian untuk
memelihara suasana yang rukun bersahabat, para peserta musyawarah paling tidak
perlu menunjukan :
1.
Ketulusan hati ( sacca ).
2.
Pengendalian diri sendiri ( dhamm ).
3.
Kesabaran ( khanti ).
4.
Kemurahan hati ( caga ).
Menjalin
komunikasi, saling mengerti hormat
menghormati diperlukan untuk memecahkan masalah bersama dan bekerja sama
memperjuangkan pendapat, aspirasi, keinginan atau cita-cita memang harus,
tetapi tidak dengan mengorbankan kerukunan. Mencapai mufakatpun menuntut
kearifan dan selanjutnya melaksanakan dengan benar kemufakatan itu (Mukti,
1991:15-17.
Salah
satu ciri Demokrasi adalah tidak menyukai kekerasan, ada strategi yang baik
untuk menghindari kekerasan dalam kehidupan bernegara, di antaranya :
1. langkah-langkah
di bidang ekonomi yang di artikan untuk mengurangi kemiskinan dan menjamin
setiap orang hidup puas dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya .
2. adanya
sistim kemasyarakatan dengan aksen menuju sumber daya sosial yang terbuka bagi
semua oang .
3. adanya
sistim politik yang di dalamnya semua pendapat berbeda dapat di salurkan dan di
manfaatkan untuk kepentingan pengambilan keputusan .
4. pemantapan
hukum dhamma dan komitmen dari para penguasa atau pemimpin dan administrator
untuk tidak melanggar hukum dalam kondisi apapun dan menghormati hak asasi
manusia .
Ketika
kerajaan Magadha yang lebih besar ingin menaklukan Vajji, Buddha mengingatkan
pihak Magadha bahwa Vajji taat memenuhi tujuh syarat kesejahteraan suatu
negara, dengan kata lain ia menghendaki terpeliharanya kedaulatan Vajji yang
lebih kecil dan kedua negara dapat hidup berdampingan secara damai, Buddha mengemukakan syarat-syarat kesejahteraan
negara tersebut diantaranya :
1. Sering
mengadakan pertemuan dan permusyawarahan yang mengikut sertakan orang banyak (
menjalankan apa yang sekarang ini kita sebut demokrasi ).
2. Berhimpun
dengan rukun, berkembang dengan rukun, mencapai mufakat dan menyelesaikan
segala sesuatunya dengan rukun.
3. Menghormati
dan menyokong para sesepuh atau pemimpin, juga memperhatikan amanat mereka.
4. Menjunjung
konstitusi yang berlaku, tidak memberlakukan apa yang belum diundangkan tidak
juga meniadakan apa yang telah diundangkan.
5. Melindungi
dan menghormati kedudukan wanita.
6. Memelihara dan tidak mengabaikan kewajiban
agama.
7. Melindungi
orang-orang suci dan bijaksana.
Dengan
melaksanakan syarat-syarat tersebut maka suatu negara dapat berjalan secara
demokratis, hidup bahagia, rukun, penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Dari penjelasan serta uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.
Politik adalah “Pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan,
siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara
lain” (Anwar, 2002:360).
2.
Politik
dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami seperti sebuah kereta yang tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda
kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Bila roda
kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, maka akan menjadi kekuasaan
yang korup, dan dalam kondisi ini Sangha atau komunitas spiritual, harus
mengimbanginya dengan roda kebenaran. Agama
Buddha menjaga jarak terhadap politik ”Buddha tidak berusaha mempengaruhi
kekuasaan politik untuk menyiarkan ajaranya, tidak juga mengijinkan ajaranya
disalah gunakan untuk menguasai kekuasaan politik” (Wijaya-Mukti, 2003:491).
3.
secara umum pengertian demokrasi adalah suatu pola pemerintahan yang
diselenggarakan oleh, dari dan untuk rakyat artinya rakyatlah yang memegang
kekuasaan tertinggi. Selain itu didalam pandangan demokrasi secara umum ada
beberapa kriteria tersendiri yang terdiri dari sepuluh kriteria demokrasi.
Kriteria demokrasi tersebut dapat digunakan untuk mengukur kualitas kehidupan
dalam masyarakat dalam segi ekonomi, sosial dan psikologi serta yang dijelaskan
dalam ciri-ciri juga ditunjukan ada tiga ciri pokok yang dapat dijelaskan dan ketiga
ciri pokok tersebut mengandung beberapa ciri tambahan, ciri tambahan tersebut
adalah:
a)
Pemerintahan berdasarkan kehendak dan kepentingan
rakyat banyak.
b)
Pemisahan atau pembagian kekuasaan.
c)
Tanggung jawab.
4.
Demokrasi menurut pandangan agama Buddha, pengertian
demokrasi menurut agama Buddha adalah merupakan suatu tindakan yang didasari
atas persamaaan hak dan kewajiban, dari seluruh rakyat.menurut agama
Buddha demokrasi memiliki banyak sekali
karekter / sifat serta ciri yang dapat di tunjukan karakter tersebut antara
lain : kebebasan atau kekuasaan terhadap hukum menganggap sama antara penguasa
dan rakyat . ciri dari demokrasi menurut agama Buddha menyangkut persamaan hak
dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri, serta tidak
menyukai kekerasan .
B.
SARAN
Selalu bersikap jujur berusaha menghargai setiap
perasaan perbuatan , perkataan pikiran orang lain serta menjunjung tinggi sikap
,sifat dan nilai-nilai luhur dari Politik dan Demokrasi itu sendiri maka akan membawa perkembangan hidup bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Doel Vanden ,1988, Demokrasi Dan Teori Kemakmuran,
Jakarta Erlangga.
2.
Mukti Wijaya Krishnanda, 2003, Wacana Buddha Dhamma,
Jakarta ,Yayasan Dharma Pembangunan
3.
Mukti Wijaya Krishnanda 1991. Di Atas Kekuasaan Dan
Kekayaan . Jakarta ;Yayasan Dharma Pembangunan .
4.
Skripsi …………. 2003 Demokrasi Dalam Pandangan Agama
Buddha .
5.
Wowor Cornelis, 1992 Kitab Suci Sutta Pittaka I .
Jakarta.
6.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Dan
Buddha.