cursor

Senin, 24 Maret 2014

POLITIK DALAM AGAMA BUDDHA


POLITIK DALAM AGAMA BUDDHA


KATA PENGANTAR

Namo Sangyang Adi Buddhaya,
Namo Buddhaya


Dengan Mengucapkan Puji Syukur kepada Sangyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa, Sang Tri Ratna, Buddha, Dhamma, Sangha serta Bodhisatva Mahasatva. Penulis dapat menyelesaikan Makalah Agama Buddha Dan Ilmu Pengetahuan yang merupakan salah satu syarat tugas Agama Buddha Dan Ilmu Pengetahuan, dalam waktu yang relatif singkat.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Tejo Ismoyo, M.Pd., M.Pd.B selaku dosen pembimbing mata kuliah Agama Buddha Dan Ilmu Pengetahuan Serta kepada rekan-rekan mahasiswa lainnya yang telah membantu dalam proses penyusunan dan membantu dalam pencarian sumber-sumber pendukung makalah ini.
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para mahasiswa dan pembaca di dalam mengkaji dan memahami tentang Politik Dan Demokrasi Menurut Pandangan Agama Buddha.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah Selanjutnya.


Sadhu, Sadhu, Sadhu



                       Bandar Lampung, 25 februari 2014



                                                                                                              Penulis



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL.............................................................................................
KATA PENGANTAR...........................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1.1 Latar Belakang......................................................................................
1.2 Rumusan masalah.................................................................................
1.3 Tujuan ..................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
2.1 Pengertian Politik Secara Umum..........................................................
2.2 Pengertian Politik Dalam Pandangan Agama Buddha.........................
2.3 Pengertian Demokrasi Secara Umum...................................................
2.4 Pengertian Demokrasi Dalam Pandangan Agama Buddha..................


BAB  III PENUTUP..............................................................................................
3.1 Kesimpulan...........................................................................................
3.2 Saran.....................................................................................................
3.3 Daftar Pustaka......................................................................................









BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Politik adalah “Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain” (Anwar, 2002:360).
Sejarah Politik Agama Buddha Keterlibatan Sang Buddha dalam pengendalian politik  terlihat pada saat suku Koliya dan Sakya akan berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk mereka agar tidak melakukannya. Saat raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan cara melakukan percakapan dengan Ananda di depan menteri raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan Rencananya
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno (Athena) pada abad ke-5 SM. Negara tersebut merupakan sebagai contoh awal dari sebuah sistim yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi politik telah berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistim demokrasi di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, “Demokrasi sebagai asas yang fudamental ... kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyengarakan negara sebagai organisasi tertinggi (Mahfud dalam Hidayatullah, 2000:161).
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitan  pembagian kekuasaan dalam suatu negara, dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.


Para ahli demokrasi yang membagi kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Kehidupan masyarakat akan berkembang bila ada kebebasan bagi seluruh anggota masyarakat untuk menempatkan  dirinya sederajat dan mengambil pera masing-masing secara demokratis. Buddha memberi sejumlah petunjuk untuk mengembangkan masyarakat yang merdeka dan sejahtera, yang menempatkan kesucian dan nilai-nilai luhur diatas kekuasaan.agama yang mengajarkan kebebasan, persamaan derajad, dan persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat( Mukti,2013 : 495)


B.            RUMUSAN  MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan makalah ini yaitu:
Bagaimana yang dimaksud Politik secara umum?
Bagaimana yang dimaksud Politik dalam pandangan Agama Buddha ?
Bagaimana yang dimaksud Demokrasi secara umum ?
Bagaimana yang dimaksud Demokrasi dalam pandangan Agama Buddha?



C.           TUJUAN
Tujuan dari Pembuatan Makalah tersebut adalah :
Menjelaskan Politik secara umum dan dalam Pandangan Agama Buddha.
Menjelaskan Demokrasi secara umum dan dalam Pandangan Agama Buddha.









BAB II
PEMBAHASAN

1.             PENGERTIAN POLITIK SECARA UMUM
Politik adalah “Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain” (Anwar, 2002:360).
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara,politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.
Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebutzoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumber-sumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakan-kebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu).

2.             POLITIK DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Politik dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami seperti sebuah kereta yang  tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Bila roda kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, maka akan menjadi kekuasaan yang korup, dan dalam kondisi ini Sangha atau komunitas spiritual, harus mengimbanginya dengan roda kebenaran.
Agama Buddha menjaga jarak terhadap politik ”Buddha tidak berusaha mempengaruhi kekuasaan politik untuk menyiarkan ajaranya, tidak juga mengijinkan ajaranya disalah gunakan untuk menguasai kekuasaan politik”  (Wijaya-Mukti, 2003:491).

Sejarah Politik Agama Buddha Keterlibatan Sang Buddha dalam pengendalian politik  terlihat pada saat suku Koliya dan Sakya akan berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk mereka agar tidak melakukannya. Saat raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan cara melakukan percakapan dengan Ananda di depan menteri raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan Rencananya.
Dalam dua kesempatan, Sang Buddha menghentikan majunya bala tentara raja Vadidabu yang hendak menghancurkan suku Sakya dengan bermeditasi di bawah pohon kering.Sang Buddha membabarkan tujuh cara tanpa agresi dalam memerintah suatu negara republik dan sepuluh kebajikan para raja dalam memerintah suatu negara kerajaan.Keterangan singkat di atas menunjukkan dua poin penting:
a.          Para biarawan dapat mendidik para raja dan menteri ( para politisi ) dengan mengajarkan Dhamma kepada mereka, menjadi penengah dalam berbagai permasalahan politik dan melindungi hak-hak para warganegara pada saat diperlukan.
b.         Para biarawan tidak terlibat sebagai pribadi dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Mereka juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik. Dengan kata lain, para biarawan boleh terlibat dalam politik tetapi harus dibatasi. Mereka tidak boleh menjadi politisi.
Beberapa orang berusaha menggambarkan Sang Buddha sebagai orang yang meninggalkan politik kerajaan untuk menjadi politisi demokratik massa. Hal seperti ini tidaklah ditemukan. Mereka yang mengenal Buddhisme akan mengetahui bahwa Sang Buddha menghabiskan seluruh hidupNya dalam peningkatan batin dan pengajaran. Beliau mengajarkan tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan. Inti ajaranNya adalah di pencapaian kesucian dan bukan salah satu bentuk ideologi politik apapun.
Sang Buddha menganggap diriNya sendiri sebagai seorang “Tathagatha”, dan bukan seorang raja atau politisi. Saat kita membaca paritta tentang kebajikan seorang Buddha, kita menyebut sebagai Bhagava (Yang Patut Dimuliakan), Arahat (Yang Maha Suci), Sammasambuddha (Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna), vijja-carana-sampano (Sempurna pengetahuan dan tindak tandukNya), sugato (Sempurna menempuh Sang Jalan ke Nibbana), lokavidu (Pengenal Segenap Alam), anutara purisa dhamma sarathi (Manusia yang tiada taranya), satta deva manusanam (Guru para dewa dan manusia), buddho (Yang Sadar).Kita tidak menyebut Nya sebagai seorang raja, politisi atau seorang yang hendak memperbaiki keadaan sosial walaupun telah dikenal bahwa Beliau adalah salah satu pembaharu sosial terbesar dalam sejarah manusia.
Beberapa orang memperdebatkan bahwa karena tidak adanya peraturan dalam Vinaya yang melarang para biarawan menjadi politisi, maka mereka boleh saja menjadi politisi. Perdebatan ini harus ditentang. Kita harus mengerti bahwa peraturan atau Vinaya dibuat berdasarkan keadaan saat itu. Karena pada saat itu tidak ada biarawan berjubah yang mau menjadi raja dan menteri, tentu saja peraturan semacam itu tidak dibuat. Pada saat itu, semua raja dan menteri yang hendak menjadi biarawan dengan otomatis melepaskan jabatan-jabatan duniawi mereka. Bagaimanapun juga, tujuan seorang biarawan adalah pelepasan; oleh karena itu berpikiran tentang pelepasan keduniawian di saat mereka masih melekat pada kekuasaan politik adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan Ajaran Sang Buddha.
Dhammapada ayat 75 menyebutkan: “Satu jalan menuju keuntungan duniawi; satu jalan yang lain menuju Nibbana – pembebasan sejati.” Untuk melepaskan keduniawian, dan pada saat yang sama hendak mendapatkan kekuasaan politik serta berusaha memenangkan pemilihan umum adalah keinginan berjalan di dua jalan yang bertentangan. Yang Mulia Sangarasita dengan tepat berkata, “Bagi para biarawan yang hendak menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik, satu-satunya jalan yang terhormat bagi mereka adalah melepaskan jubah.”
Dalam Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik. Hal seperti ini bukanlah merupakan persoalan yang kontroversi. Kontroversi baru muncul pada saat para biarawan hendak berpartisipasi dalam politik. Kontroversi ini bukan karena tidak adanya nasihat yang jelas tercantum dalam Kitab Suci tentang hal ini, melainkan karena gagasan awal dan penafsiran terhadap makna politik serta partisipasi seseorang di dalamnya. Misalnya, wawancara saya yang diterbitkan dalam satu majalah Buddhis dikutip oleh Kwong Min Poh sebagai “tidak ada kerugian bagi para biarawan untuk berpartisipasi dalam politik”’ dan dikutip oleh penulis majalah lain sebagai “tidak ada keberatan bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik”.
Pandangan Yang Mulia Dr. K. Sri Dhammanada bahwa tidak ada kerugian bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik telah disalahartikan pula menjadi para biarawan dapat ikut serta dalam pemilihan umum, bergabung dengan partai-partai, dan mencari kekuasaan. Ketika saya melakukan klarifikasi dengannya, beliau berkata, “Sebelum pemilihan umum 1990 di Malaysia, saya pergi ke Penang untuk membujuk seorang bhikkhu menghentikan niatnya ikut serta dalam pemilihan umum. Pada tahun 1995, saya memberitahu ribuan bhikkhu di depan Presiden dan Perdana Menteri Sri Lanka bahwa demi kepentingan Buddhisme dan Negara, “Anda tidak seharusnya bergabung dalam partai-partai politik dan ikut serta dalam pemilihan umum.” Jelas bahwa saat Yang Mulia Dr. K. Sri Dhammananda berbicara tentang “tidak ada kerugian bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik”, ia berbicara tentang pendidikan Dhamma dan menjadi penengah dalam permasalahan politik namun bukan ikut dalam perebutan kekuasaan politik.
Dalam Buddhisme belakangan ini, ada beberapa biarawan yang terlibat dalam politik, tetapi kebanyakan terbatas pada aspek pendidikan dan bagaimana mereka membantu para pemimpin politik menyelesaikan berbagai perselisihan. Bagaimanapun juga, para biarawan adalah pekerja full-time yang sepenuhnya terlibat dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma. Mereka hampir tidak ada waktu dan tenaga untuk urusan – urusan keduniawian. Dalam konteks terminologi moderen, politik adalah suatu profesi, demikian juga kebiarawanan. Sesungguhnya adalah hal yang sulit dipikirkan bila seseorang secara bersamaan terlibat dalam dua profesi yang berbeda tujuannya.
Zaman sekarang sesekali kita melihat para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci. Menurut analisa saya, tingkah laku orang-orang ini disebabkan adanya alasan-alasan berikut:
1.         Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet.
2.         Mereka yang tidak mempunyai pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya, apabila mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat sebagai menteri, wakil rakyat, anggota badan legislatif, dll.
3.         Mereka yang dengan tulus hendak mengabdi pada kepentingan Buddhisme tetapi mereka tidak mempunyai pengertian yang mendalam tentang Ajaran Sang Buddha dan pengertian tentang politik. Maka hal ini membingungkan peran mereka sendiri.
4.         Mereka yang mengenakan jubah kuning tetapi mempunyai karakter yang egois. Mereka menginginkan perhatian dari orang lain.
Apapun alasannya, seharusnya kita tidak menyalahgunakan nama Buddhisme ataupun memutarbalikkan Ajaran Sang Buddha untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam politik.
Beberapa orang berpendapat bahwa adalah hak seorang warganegara untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Para biarawan adalah warganegara pula, mereka seharusnya diperbolehkan ikut serta. Perdebatan ini berdasarkan pada hak-hak kewarganegaraan, bukan pada Ajaran Sang Buddha. Walaupun demikian, argumentasi ini bukan tanpa cela. Para hakim, pejabat pemerintah senior serta para penguasa juga warganegara, tetapi mereka tidak diperbolehkan ikut serta dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, dari sudut hak-hak kewarganegaraanpun tidak tepat bagi para biarawan untuk ikut serta dalam pemilihan umum.
Para biarawan yang ingin ikut serta dalam politik seharusnya bertanya kepada diri sendiri tujuan dari keikutsertaan mereka. Memang benar bahwa beberapa biarawan mempunyai tujuan yang tulus untuk menegakkan hak-hak umat Buddha dan mengabdi untuk kepentingan Buddhisme saat mereka bergabung dengan partai-partai politik guna ikut serta dalam pemilihan umum. Tetapi mereka gagal melihat bahwa dengan demikian mereka lebih banyak melakukan kerusakan daripada kebaikan pada Buddhisme. Hal ini karena sifat alami dari politik adalah pemecahan; partisipasi dari satu grup biarawan dalam partai politik akan menyebabkan grup biarawan lainnya bergabung dengan partai politik yang berlawanan; pada akhirnya kondisi ini akan menyebabkan suatu perpecahan dalam Sangha. Saat para biarawan dalam partai politik yang berbeda, mereka membela kepentingan mereka sendiri dan mengutuk partai berlawanan, semua pihak mengutip referensi-referensi dan dukungan dari doktrin-doktrin Ajaran Sang Buddha, kita dapat membayangkan kerusakan yang dilakukan kepada Buddhisme. Hal ini telah terjadi di agama yang lain.
Mungkin kita dapat belajar sesuatu dari kecerdikan Gereja Katolik di Philipina. Gereja di sana tidak terlibat dalam partai politik apapun. Tetapi mereka aktif menyuarakan penderitaan rakyat dan mengangkat berbagai persoalan yang terkait. Dengan melakukan tindakan seperti itu, Gereja menjadi suatu grup yang sangat berpengaruh. Partai-partai politik pemerintah dan oposisi semuanya harus memperhatikan tekanan yang digunakan oleh Gereja. Umat-umat awam mungkin dapat terpecah dalam penafsiran mereka atas pesan Gereja, selanjutnya bergabung dan mendukung partai-partai yang berbeda, tetapi mereka semua akan setuju dengan Gereja. Sementara itu Gereja tidak terpecah belah.
3.             DEMOKRASI SECARA UMUM
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno (Athena) pada abad ke-5 SM. Negara tersebut merupakan sebagai contoh awal dari sebuah sistim yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi politik telah berevolusi sejak abad ke 18, bersamaan dengan perkembangan sistim demokrasi di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, “Demokrasi sebagai asas yang fudamental ... kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyengarakan negara sebagai organisasi tertinggi (Mahfud dalam Hidayatullah, 2000:161).
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitan  pembagian kekuasaan dalam suatu negara, dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Demokrasi yang merupakan suatu sistim politik yang harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat, mempunyai asal-usul tersendiri, asal-usul demokrasi sebagai suatu sistim politik dapat ditelusuri sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi. Setelah perang dunia II demokrasi memperoleh angin segar dan dianggap sebagai sistim politik terbaik oleh hampir semua pemimpin negara. Sejarah demokrasi Yunani kuno adalah demokrasi langsung yang dipraktekan dalam suatu negara kota yang lain. Tokoh-tokoh demokrasi Yunani kuno itu antara lain adalah tokoh-tokoh pembuat hukum (638 - 588 SM). Chiestinus Bapak demokrasi Athena Pericles, Jendral Negarawan (409-429 SM), dan Demosthenas negarwan Arator (385-322 SM). Masing-masing dengan kemampuan membela demokrasi sebagai suatu sistim politik yang terbaik disamping itu ada beberapa prinsip operasional yang cukup menarik dalam sistim demokrasi Athena diantaranya:
Para warga negara sendiri yang langsung membuat keputusan-keputusan politik dan mengawasinya.Ekualitas politik dan hukum bagi semua warga negara dalam hal memberikan suara pada berbagai isu, dalam dialog terbuka dan dalam hak untuk menduduki jabatan pemerintahan.Kebebasan politik dan kewarga negaraan dijamin sepenuhnya.
Jadi Athenalah yang mempraktekan bentuk pemerintahan yang diselenggarakan oleh, dari dan untuk rakyat, yang artinya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan) (Rostandi, 1992:105). Pengertian harafiah demokrasi berarti dari sumber bahasa Yunani, yaitu Demos  dan Kratia, demos berarti rakyat dan kratia berarti pemerintahan jadi demokratia (demokrasi) berarti “Pemerintahan Rakyat.
Arti demokrasi secara umum: istilah demokrasi berarti berasal dari dua kata, yaitu demos artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan Jadi demokrasi artinya Pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat atau oleh mereka yang diperintah (Hariyanto, 2002:II).
Demokrasi merupakan suatu pola pemerintahan yang mana kekuasaan sepenuhnya berada ditangan rakyat jadi maju dan tidaknya masyarakat tersebut tergantung pada masyarakat itu sendiri. Menurut International Comission Of Justs dalam konferensinya di Bangkok / Muangthai, demokrasi adalah suatu pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan tanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas, kemudian pada perkembangannya demokasi diartinkan sebagai suatu sikap tertentu dari para warga. Umpamanya sikap toleran terhadap pendapat-pendapat lain, atau sikap yang ditunjukan untuk memperoleh suatu consensus tertentu (Hariyanto, 2002:12).
Setelah melihat beberapa pengertian demokrasi diatas dapat disimpulkan bahwa demokrasi merupakan suatu sistim pemerintahan yang berasal darti rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu sendiri.

4.             DEMOKRASI  DALAM PANDANGAN AGAMA BUDDHA
Kehidupan masyarakat akan berkembang bila ada kebebasan bagi seluruh anggota masyarakat untuk menempatkan dirinya sederajat dan mengambil peran masing-masing secara demokratis. Buddha memberi sejumlah petunjuk untuk mengembangkan masyarakat yang merdeka dan sejahtera, yang menempatkan kesucian dan nilai-nilai luhur diatas kekuasaan. Agama yang mengajarkan kebebasan, persamaan derajad, dan persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat (Mukti, 2003 : 495).
Pengertian Demokrasi Menurut Pandangan Agama Buddha
Menurut Aganna Sutta, Buddha menunjukan bahwa fenomena Demokrasi dam kedaulatan ditangan rakyat. Pada mulanya manusia dilahirkan tanpa perbedakan kedudukan, semua masyarakat dapat memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi kehidupan yang damai mulai terganggu  ketika manusia yang serakah mencuri, yang licik menipu, yang kuat menindas yang lemah.
Kemudian masyarakat memilih salah seorang diantaranya untuk mengadili orang-orang yang salah dan membayar jasanya. Penguasa itu dipilih banyak orang, diangkat melalui persetujuan rakyat.Demokrasi merupakan Buddha, demikian ditulis oleh Nokae Chomin ( Takusuke ), konstitusionalisme patut dihormati, demokrasi patut dicintai, konstitusionalisme sekedar penginapan yang pada akhirnya harus ditinggalkan, sedangkan demokrasi merupakan rumah terakhir karena rakyat yang berkuasa lewat demokrasi (Mukti, 2003: 497)
Jadi menurut agama Buddha demokrasi merupakan suatu tindakan yang didasari atas persamaan hak dan kewajiban, dari seluruh rakyat. Buddha menguraikan empat hal yang menjadai dasar demokrasi dalam agama Buddha, diantaranya :
1.         Kemurahan hati.
2.         Pembicaraan yang ramah.
3.         Tindakan yang baik.
4.          Melayani semua siswa tanpa membedakannya.

Jadi demokrasi tersebut merupakan wujud dari kekuasaan yang berada ditangan rakyat. Rakyat mempunyai hak untuk  turut serta dalam pemerintahan dan menentukan nasib negaranya, mereka memilih wakilnya dan mempercayakan orang yang dipilihnya untuk menyelenggarakan pemerintahan (Mukti, 2003 : 495).
Didalam khotbahnya sang Buddha mengajarkan atau menjelaskan syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa, yang merupakan ciri dnegara demokrasi yaitu :
a)         Sering berkumpul mengadakan musyawarah.
b)         Dalam musyawarah selalu menganjurkan perdamaian.
c)         Menetapkan peraturan baru dan menentukan pelaksanaan baru dan peraturan-peraturan lam yang baik.
d)        Menunjukan rasa hormat dan bhakti kepada orang tua.
e)         Melarang keras penculikan terhadap gadis-gadis dari keluarga baik-baik.
f)          Menghargai dan menghormati tempat suci serta sering melaksanakan puja bhakti.
g)         Menghargai dan melindungi orang-orang suci dengan seyogyanya (D.II.16).

Dasar demokrasi dalam agama Buddha adalah dengan prinsif tindakan tanpa pemaksaan kehendak, pemerintahan demokrasi selalu memperhatikan kepentingan rakyat. Rakyat memiliki kedudukan yang sama untuk memenuhi kebutuhannya tidak ada yang disebut kaum tinggi dan kaum rendahan, semua sama yang menentukan tinggi dan rendahnya seseorang adalah nilai moral, agama dan perilaku mereka.

Sifat Demokrasi Dalam Agama Buddha
Demokrasi dipandang memilki sifat atau karakter tersendiri yang membuat banyak sekali suatu negara yang masyarakatnya memilih sistim demokrasi dalam menjalankan peerintahan, sifat dari demokrasi adalah kebebasan dan ketaatan terhadap hukum. Kebebasan dan ketaatan hukum kepada hukum tidaklah saling bertentangan, kebebasan menghendaki kearifan, kebajikan dan ketaatan hukum, agar dapat mewujudkan ketertiban setiap orang akan menerima hasil dari perbuatannya, tidak seorangpun dapat menyembunyikan diri atau terhindar dari segala akibat perbuatan jahatnya (Dhp.127).
Cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang ini atau dalam kehidupan yang akan datang, dalam kehidupan yang sekarang orang yang berbuat salah dapat dijatuhi hukuman oleh negara atau masyarakat (Mukti, 2003: 499). Sifat lain demokrasi menurut agama Buddha adalah menganggap sama antara penguasa dan rakyat jelata, karena asalnya sama yaitu manusia biasa. Pandangan mengenai persamaan martabat hak dan kewajiban atau menyangkut perlakuan yang sama bagi semua manusia menunjukan sifat agama Buddha yang demokratis.
Buddha mengakui perlunya kekuasaan pemerintahan yang dijalankan secara benar, kekuasaan tidaklah dimaksudkan dengan bagaimana memaksakan kehendak manusia. Dikemukakan dalam Aganna Sutta kekuasaan itu menyangkut kesanggupan untuk menjalankan tugas yang diberikan oleh masyarakat. Tidak ada penguasa tanpa kehendak rakyat karena itu seorang penguasa adalah abdi masyarakat.  Menurut Buddha seorang pemimpin adalah memenuhi sepuluh kewajiban (Dasa Raja -  Dhamma ) yaitu
1.         Kedermawanan atau memiliki sifat kedermawanan (berdana).
2.         Memiliki moral yang baik.
3.         Kesediaan berkorban.
4.         Memiliki integritas atau tulus, jujur dapat dipercaya.
5.         Memiliki kebaikan hati termasuk bersikap menyenangkan.
6.         Menjalankan hidup sederhana.
7.          Tanpa amarah.
8.         Tanpa kekerasan.
9.         Memiliki kesabaran.
10.     Penguasa tidak boleh bertentangan dengan kebenaran atau kehendak rakyat.

Kepemimpinan yang ditunjukan oleh Buddha adalah bagaimana seseorang meningkatkan kualitas dirinya sehingga mampu untuk tidak menyandarkan nasip kepada orang lain. Karena itu kepemimpinan bukan sekedar membuat orang lain terpengaruh dan tunduk apalagi tergantung kepada diri si pemimpin. Buddha tidak mewariskan kekuasaan dengan menunjuk seorangpun untuk menjadi pemimpin seorang bhikkhu atau umat. Ia tidak ingin orang-orang menggantungkan diri kepada sosok figure pemimpin, yang diamanatkan adalah agar pengikutnya menyandarkan diri kepada ajaran dan hukum kebenaran yang dinamakan Dhamma dengan itu setiap orang menjadi pemimpin dan pelindung bagi dirinya sendiri  (Mukti, 2003: 503-504).Selain hal diatas terdapat sifat-sifat yang harus dikembangkan oleh umat Buddha yang mendukung terbentuknya sikap hidup yang demokratis yaitu :
1.      Metta berarti cinta kasih yang universal yang merupakan sifat batin yang selalu mengharap kesejateraan dan kebahagiaan semua mahkluk tanpa membedakan satu dengan yang lain.
2.      Karuna berarti belas kasihan sikap batin yang timbul apabila melihat penderitaan mahkluk lain dan berhasrat untuk meringankan atau menghilangkan penderitaan itu.
3.      Mudita berarti simpati yaitu sikap batin yang merasa gembira dan bahagia melihat orang lain bahagia.
4.      Upekkha berarti keseimbangan batin yakni sikap batin yang selalu seimbang dalam segala keadaan karena menyadari bahwa setiap mahkluk akan memetik buah perbuatannya (Haryanto, 2002 : 64).

*      Ciri Demokrasi Dalam Pandangan Agama Buddha
Kehidupan demokrasi selalu menghargai keputusan-keputusan bersama, dalam musyawarah sifat keakuan harus dihindari, orang yang hanya mengakui pendapatnya sendiri, maka ia bukan seorang demokratis. Sikap demokratis tidak memeluk erat-erat semua pandangan yang telah muncul diantara orang-orang. Ia tidak berdiri kaku di atas pandangannya sendiri dan bergantung kepada kriterianya sendiri. Apapun yang mungkin difahaminya didalam atau diluar dia  harus menghindari kesombongan penilaian-penilainannya. Dia tidak berfikir bahwa dirinya lebih baik atau lebih buruk atau sejajar dengan dirinya.
Ciri demokratis dalam agama Buddha menyangkut persamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri. Buddha mengajarkan kebebasan, beliau mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran. Ajarannya adalah ajaran yang terbuka dan menghargai keterbukaan mengambil keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, memberi kesempatan pada perbedaaan pendapat dan kritik, sangat ditekankan oleh sang Buddha dalam konteks kehidupan bernegara, berbangsa dan bernegara pandangan ini tempat yang mendasari dengan apa yang disebut sebagai pasamuan, permusyawaran dan pemufakatan.
pendapat itu biasa, demikian pula berbeda keinginan maka Buddha menganjurkan para siswa untuk sering melakukan permusyawarahan secara tertib dan teratur. Setiap permasalahan diselesaikan dengan rukun dan dengan penuh tanggung jawab. Adanya satu asas dan satu tujuan telah memungkinkan pencapaian mufakat yang bulat. Namun bilamana kesamaan pendapat tidak tercapai, mufakat dihasilkan menurut keputusan suara terbanyak. Ciri disini adalah musyawarah untuk mufakat sangat dijunjung tinggi, setiap musyawarah berjalan rukun lalu berakhir dengan kerukunan yang semakin mantap dan tidak berjalan dengan pertikaian untuk memelihara suasana yang rukun bersahabat, para peserta musyawarah paling tidak perlu menunjukan :
1.      Ketulusan hati ( sacca ).
2.      Pengendalian diri sendiri ( dhamm ).
3.      Kesabaran ( khanti ).
4.      Kemurahan hati ( caga ).
Menjalin komunikasi, saling  mengerti hormat menghormati diperlukan untuk memecahkan masalah bersama dan bekerja sama memperjuangkan pendapat, aspirasi, keinginan atau cita-cita memang harus, tetapi tidak dengan mengorbankan kerukunan. Mencapai mufakatpun menuntut kearifan dan selanjutnya melaksanakan dengan benar kemufakatan itu (Mukti, 1991:15-17.
Salah satu ciri Demokrasi adalah tidak menyukai kekerasan, ada strategi yang baik untuk menghindari kekerasan dalam kehidupan bernegara, di antaranya :
1.      langkah-langkah di bidang ekonomi yang di artikan untuk mengurangi kemiskinan dan menjamin setiap orang hidup puas dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya .
2.      adanya sistim kemasyarakatan dengan aksen menuju sumber daya sosial yang terbuka bagi semua oang .
3.      adanya sistim politik yang di dalamnya semua pendapat berbeda dapat di salurkan dan di manfaatkan untuk kepentingan pengambilan keputusan .
4.      pemantapan hukum dhamma dan komitmen dari para penguasa atau pemimpin dan administrator untuk tidak melanggar hukum dalam kondisi apapun dan menghormati hak asasi manusia .
Ketika kerajaan Magadha yang lebih besar ingin menaklukan Vajji, Buddha mengingatkan pihak Magadha bahwa Vajji taat memenuhi tujuh syarat kesejahteraan suatu negara, dengan kata lain ia menghendaki terpeliharanya kedaulatan Vajji yang lebih kecil dan kedua negara dapat hidup berdampingan secara damai, Buddha  mengemukakan syarat-syarat kesejahteraan negara tersebut diantaranya :
1.      Sering mengadakan pertemuan dan permusyawarahan yang mengikut sertakan orang banyak ( menjalankan apa yang sekarang ini kita sebut demokrasi ).
2.      Berhimpun dengan rukun, berkembang dengan rukun, mencapai mufakat dan menyelesaikan segala sesuatunya dengan rukun.
3.      Menghormati dan menyokong para sesepuh atau pemimpin, juga memperhatikan amanat mereka.
4.      Menjunjung konstitusi yang berlaku, tidak memberlakukan apa yang belum diundangkan tidak juga meniadakan apa yang telah diundangkan.
5.       Melindungi dan menghormati kedudukan wanita.
6.       Memelihara dan tidak mengabaikan kewajiban agama.
7.      Melindungi orang-orang suci dan bijaksana.
Dengan melaksanakan syarat-syarat tersebut maka suatu negara dapat berjalan secara demokratis, hidup bahagia, rukun, penuh dengan cinta kasih dan kasih sayang.



BAB III
PENUTUP
A.           SIMPULAN
Dari penjelasan serta uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
1.      Politik adalah “Pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain” (Anwar, 2002:360).
2.      Politik dan kekuasaan di dalam Buddhist dipahami seperti sebuah kereta yang  tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Bila roda kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, maka akan menjadi kekuasaan yang korup, dan dalam kondisi ini Sangha atau komunitas spiritual, harus mengimbanginya dengan roda kebenaran.  Agama Buddha menjaga jarak terhadap politik ”Buddha tidak berusaha mempengaruhi kekuasaan politik untuk menyiarkan ajaranya, tidak juga mengijinkan ajaranya disalah gunakan untuk menguasai kekuasaan politik”  (Wijaya-Mukti, 2003:491).
3.      secara umum pengertian demokrasi adalah suatu pola pemerintahan yang diselenggarakan oleh, dari dan untuk rakyat artinya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Selain itu didalam pandangan demokrasi secara umum ada beberapa kriteria tersendiri yang terdiri dari sepuluh kriteria demokrasi. Kriteria demokrasi tersebut dapat digunakan untuk mengukur kualitas kehidupan dalam masyarakat dalam segi ekonomi, sosial dan psikologi serta yang dijelaskan dalam ciri-ciri juga ditunjukan ada tiga ciri pokok yang dapat dijelaskan dan ketiga ciri pokok tersebut mengandung beberapa ciri tambahan, ciri tambahan tersebut adalah:
a)      Pemerintahan berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat banyak.
b)      Pemisahan atau pembagian kekuasaan.
c)      Tanggung jawab.
4.      Demokrasi menurut pandangan agama Buddha, pengertian demokrasi menurut agama Buddha adalah merupakan suatu tindakan yang didasari atas persamaaan hak dan kewajiban, dari seluruh rakyat.menurut agama Buddha  demokrasi memiliki banyak sekali karekter / sifat serta ciri yang dapat di tunjukan karakter tersebut antara lain : kebebasan atau kekuasaan terhadap hukum menganggap sama antara penguasa dan rakyat . ciri dari demokrasi menurut agama Buddha menyangkut persamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri, serta tidak menyukai kekerasan .

B.            SARAN
Selalu bersikap jujur berusaha menghargai setiap perasaan perbuatan , perkataan pikiran orang lain serta menjunjung tinggi sikap ,sifat dan nilai-nilai luhur dari Politik dan Demokrasi itu sendiri maka akan membawa perkembangan hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.















DAFTAR PUSTAKA
1.      Doel Vanden ,1988, Demokrasi Dan Teori Kemakmuran, Jakarta Erlangga.
2.      Mukti Wijaya Krishnanda, 2003, Wacana Buddha Dhamma, Jakarta ,Yayasan Dharma Pembangunan
3.      Mukti Wijaya Krishnanda 1991. Di Atas Kekuasaan Dan Kekayaan . Jakarta ;Yayasan Dharma Pembangunan .
4.      Skripsi …………. 2003 Demokrasi Dalam Pandangan Agama Buddha .
5.      Wowor Cornelis, 1992 Kitab Suci Sutta Pittaka I . Jakarta.
6.      Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Dan Buddha.